Widget HTML Atas

Kita : Punya Quota DERITA

Masih Tidak sadar ? Coba renungkan lagi biar sadar - sesadar - sadarnya .

Setiap kita yang saat ini masih menjalani hidup memiliki kuota derita. 

Pada hewan dan tumbuhan kuota ini dibayar lunas dengan cara alamiah. 
Pada manusia pembayaran ini berlangsung secara kebudayaan, karena memang hanya manusia satu-satunya makhluk yang wajib berkebudayaan. 

Isi kebudayaan itu adalah pilihan dan kemungkinan. Karena itulah malah menjadi mungkin ada jenis manusia yang memilih enggan membayar kuota deritanya. 

Itulah biang bermacam-bermacam persoalan.

Itulah asal-usul kenapa ada penghutang memilih ngemplang. 

Itulah kenapa WC umum rata-rata jorok karena jumlah yang mengotori jauh lebih banyak dari yang membersihkan.

Kursi-kursi di bus kota pada awalnya adalah kursi busa. Tetapi karena banyak sekali busa yang cuma habis disileti, kursi-kursi itu kini diganti plastik atau plat besi. 




Banyak sekali pemakai jalan yang melanggar aturan tapi begitu ditegur malah melotot dan mengajak perang. 

Para pelanggar ini juga sering menolak dengan berbagai cara kalau hendak ditilang polisi dan menyebut polisi sebagai tukang mencari-cari.
 

 Inilah orang-orang yang menolak membayar kuota deritanya.

Tertib di jalan, antre dan memenuhi segenap kelengkapan berkendara, memang sebuah penderitaan. Tapi jika derita itu sudah lunas dibayarkan, tak akan ada lagi tagihan. 

Memiliki jabatan tinggi tapi sanggup menahan diri untuk tidak korupsi, pasti sebuah penderitaan. Teapi ini jenis derita, jika sudah dilunasi, akan menghasilkan kemuliaan.

Menjadi mulia itulah peristiwa kebudayaan. 

Jadi setiap pribadi apapun profesinya sudah seharusnya menjadi budayawan. Dokter, petani, polisi, tentara, pengacara harus sekaligus budayawan. 

Pengacara yang berbudaya akan memartabatkan hukum dan meninggalkan preseden hukum yang berharga. 

Begitu juga dengan petani yang berbudaya. Ia akan memperlakukan tanah secara kebudayaan dan tidak semena-semena menghujaninya dengan pestisida.

Lalu bagaimana risiko seseorang yang enggan melunasi kuota deritanya?

Jelas kedudukannya: ia adalah pelaku kredit macet kehidupan. Jika sudah begini seluruh asetnya akan disita bank. Kalau ia tak punya aset, hidupnyalah yang harus menjadi agunan di tahanan. 

Jadi ia bukan hanya menjadi pribadi yang gagal tapi juga minus.
Kalau di dalam masyarakat banyak sekali terdapat pribadi minus, akhirnya masyarakatlah yang harus menanggung beban dan menjadikan yang minus agar.menjadi plus. Jika tidak demikian, kehidupan tak akan berjalan. 


Tapi jika kehidupan semacam itulah yang harus dijalankan, itulah hidup yang penuh ancaman. Jika masyarakat masih kuat nombok maka walau berat, hidup bersama masih bisa dijalankan. 
Tapi jika dana tombokan tak ada lagi, ganti masyarakat yang akan melakukan pembangkangan.

Akhirnya kanibalisme merajalela. Di mana-mana akan mudah ditemui hidup hanya bisa dijalankan kalau sambil melanggar aturan.
Akhirnya akan sampailah pada puncaknya nanti sebuah keadaan tanpa hukum dan tatanan. 

Sebelum semuanya terlambat, generasi para pembayar derita pribadi ini harus dilahirkan.


#oleh mentor inspiratorku PGS